TEORI
KELAHIRAN BAHASA
Ketika
manusia terlibat dalam komunikasi, ia membutuhkan bahasa. Kenyataan membuktikan
bahwa di dunia ini ditemukan jutaan bahasa yang dipakai sebagai media
komunikasi antarmanusia. Perbedaan bahasa yang digunakan oleh sekelompok
masyarakat membangkitkan kesadaran bahwa bahwa itu bukan sesuatu yang
muncul begitu saja melainkan dilahirkan dalam dan melalui proses yang panjang.
Karena itulah, muncul berbagai pandangan dan kajian teoretis berhadapan dengan
perbedaan bahasa di antara manusia. Beikut ini disajikan gambaran atau teori
tentang asal-usul bahasa di antara manusia.
1. Beberapa
Teori Tradisional
Asal usul
bahasa adalah aspek yang paling banyak dipertentangkan hingga hasil studinya
pun tidak memuaskan, karena para penyelidik sulit mencapai kesepakatan tunggal.
Bagaimana mulai ada bahasa? Ada tersedia beberapa teori asal bahasa, ada yang
lucu, ada yang aneh, ada yang berbau ilmiah. Pada tahun 1866 masyarakat linguis
Perancis melarang mendiskusikan asal usul bahasa karena itu hanya spekulasi
yang tiadak ada artinya.
Penyelidikan
antroplogi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif menyakini
keterlibatan Tuhan, Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa. Tuhanlah yang
mengajarkan Nabi Adam nama-nama sebagaimana temaktub dalam kitab kejadian
sebagai berikut:
And the Lord God having formed out of the ground all the beasts of the earth, and all the fowls of the air, brought them to Adam to see what he wold call them; for whatsoever Adam called any living creature the same is its name.
Dikatakan
pula manusia diciptakan secara simultan, dan pada penciptaan ini pula
dikaruniai ujaran sebagai anugrah Illahi, dan di surga Tuhan berdialog dengan
Nabi Adam dalam bahasa Yahudi. Sebelum abad ke-18 teori-teori asal bahasa ini
dikategorikan divine origin (Berdasarkan kepercayaan).
Pada abad
ke-17, Andreas Kemke, seorang ahli filologi dari Swedia menyatakan di surga
Tuhan berbicara dalam bahasa Swedia. Nabi Adam berbahasa Denmark, sedangkan
naga berbahasa Perancis.
Cerita di
Mesir lain lagi. Pada abad ke-17 SM raja Mesir, Psammetichus mengadakan
penyelidikan tentang bahasa pertama. Menurut sang raja kalau bayi dibiarkan ia
akan tumbuh dan berbicara bahasa asal. Untuk penyelidikan tersebut diambilah
dua bayi dari keluarga biasa, dan diserahkan kepada seorang pengembala untuk
dirawatnya. Gembala tersebut dilarang berbicara sepatah kata pun kepada
bayi-bayi tesebut. Setelah sang bayi berusia dua tahun, mereka dengan sepotan
menyambut si gembala dengan kata ”Becos!”. Segera si penggembala tadi menghadap
Sri Baginda dan diceritakannya hal tersebut. Psammetichus segera menelitinya
dan berkonsultasi dengan para penasehatnya. Menurut mereka becos berarti roti
dalam bahasa Phrygia; dan inilah bahasa pertama. Cerita ini diturunkan kepada
orang-orang Mesir Kuno, hingga menurut mereka bahasa Mesirlah bahasa pertama.
Kaisar Cina
T’ien-tzu, anak tuhan, katanya mengajar bahasa pertama kepada manusia. Ada juga
versi lain, seekor kura-kura diutus Tuhan membawa bahasa (tulisan) kepada
orang-orang Cina. Di Jepang pun bahasa pertama dihubung-hubungkan dengan Tuhan
mereka, Amaterasu. Orang-orang Babilonia pun percaya bahwa bahasa petama
berasal dari Tuhan mereka, Nabu. Brahmana mengajarkan tulis menulis kepada ras
Hindu. Dan masih banyak cerita-cerita yang bernada sama dengan berbagai
kebudayan dahulu.
Pada bagian
akhir abad ke-18 spekulasi asal usul bahsa berpindah dari wawasan keagamaan,
mistik, takhayul ke alam baru yang disebut organic phase (pase organic).
Pertama dengan terbitnya Uber den organic phase (On the Origin of language)
pada tahun 1772, karya Johann Gottfried Von Herder (1744-1803), yang
mengemukakan bahwa tidaklah tepat bahasa sebagai anugrah Illahi. Menurut
pendapatnya: bahasa lahir karena dorongan manusia untuk mencoba-coba berfikir.
Bahasa adalah akibat hentakan yang secara insting seperti halnya janin dalam
proses kelahiran. Teori ini bersamaan dengan mulai timbulya teori evolusi
manusia yang diprakarsai oleh Immanuel Kant (1724-1804) yang kemudian disusul
oleh Charles Darwin.
Menurut
Darwin (1809-1882) dalam Descent of Man (1871) kualitas bahasa manusia dengan
bahasa binatang berbeda dalam tingkatannya saja. Bahasa manusia seperti halnya
manusia itu sendiri berasal dari bentuk yang primitif., barangkali dari ekspresi
emosi saja. Sebagai contoh perasaan jengkel atau jijik telahirkan dengan
mengeluarkan udara dari hidung dan mulut, tedengar sebagai “Pooh” atau “Pish”
!. Namun Mark Muler (1823-1900) ahli filologi dari Jerman tidak sependapat
dengan Darwin, teori ini disebut dengan pooh-pohh theory. Teori Darwin juga
tidak disetujui oleh para sarjana berikutnya termasuk Edward Sapir (1884-1939)
dari Amerika.
Mark Muler
memperkenalkan Dingdong Theory atau disebut juga nativistik theory. Teorinya
sedikit sejalan dengan yang diajukan socrates bahwa lahir bahasa secara ilmiah.
Menurut teori ini manusia mempunyai kemampuan insting yang istimewa untuk
mengeluarkan ekspresi ujaran bagi setiap kesan sebagai stimulus dari luar.
Kesan yang diterima lewat indra, bagaikan pukulan pada bel hingga mengeluarkan
ucapan yang sesuai. Kurang lebih ada empat ratus bunyi pokok yang membentuk
bahasa pertama ini. Sewaktu orang primitif dulu melihat seekor srigala,
pandangan ini menggetarkan bel yang ada pada dirinya secara insting sehingga
terucaplah kata ”Wolf” (serigala). Muller pada akhirya menolak teorinya
sendiri.
Teri lainnya
disebut Yp-he-ho Theory. Teori ini menyimpulkan bahwa bahasa primitif dahulu
bekerja sama. Kita pun mengalami kerja serupa, misalnya sewaktu mengangkat kayu
kita secara spontan bersamaan mengeluarkan ucapan-ucapan tertentu, karena
dorongan tekanan otot. Demikian juga orang primitif jaman dulu, sewaktu bekerja
tadi, pita suara mereka bergetar sehingga telahirlah ucapan-ucapan khusus untuk
setiap tindakan. Ucapan-ucapan tadi lalu menjadi nama untuk pekerjaan itu
seperti Heave (angkat), rest! (diam) dan sebagainya.
Tori yang
agak bertahan Bow-wow Theory, disebut juga Onomatopoetic atau Echoic theory.
Menurut teori ini kata-kata yang pertama kali adalah tiruan terhadap guntur,
huja, angin, sungai, ombak samudra dan lainnya. Mark Muller dengan sarkastis
mengomentarinya bahwa teori ini hanya berlaku pada kokok ayam dan bunyi itik,
padahal kegiatan bahasa banyak terjadi di luar kandang ternak.
Bagaimanpun
sedikitnya prosentase kata-kata tersebut, kita tidak mengingkari adanya
kata-kata itu. Dalam bahasa inggris ada kata-kata bable, rattle, hiss, cuckoo,
dan sebagainnya. Kosa kata dalam bahasa Indonesia juga memilki kata-kata
seperti itu: menggelegar, bergetar, mendesir, mencicit, berkokok dan
sebagainya.
Teori
lainnya lagi disebut gesture theory, yang mengatakan bahwa isyarat mendahului
ujaran. Para pendukung teori ini menunjukan penggunaan isyarat oleh berbagai
binatang, dan juga sistem isyarat yang dipakai oleh orang-orang primitif. Salah
satu contoh adalah bahasa isyarat yang dipakai suku Indian di Amerika Utara.
Sewaktu berkomuikasi dengan suku-suku lain yang tidak sebahasa.
2. Pendekatan Modern
Manusia itu
tercipata dengan perlengkapan fisik yang sangat sempurna hingga memungkinkan
terjadinya ujaran (kemampuna berbahasa). Namun ujaran bukan hanya kerja organ
fisik. Dalam proses ujaran, faktor-faktor psikologis pun terlibat. Sebagai
contoh kita banyangkan satu telaga jernih yang dikelilingi pepohonan rindang
yang dimukimi burung-burung dan marga satwa lainnya. Bagi seseorang mungkin
telaga tadi membahayakan, bisa saja meneggelamkan, mematikan. Bagi yang lain
mungkin telaga tadi jadi sumber kehidupan bagi anak istrinya. Mungkin ikannya
banyak. Bagi yag lainnya mungkin merupakan sumber ilham, bisa dijadikan tempat
untuk beristirahat, melemaskan otot-otot sambil menuggu kejatuhan inspirasi.
Dalam batin ketiga orang ini ternyata ada kesan psikologis yang berbeda.
Kesan-kesan ini mesti diucapkan dengan ujaran. Dengan perkata lain kesan-kesan
ini mesti diungkapkan dengan simbol vokal, hingga terucapkan kata-kata
umpamanya: bahaya, ngeri, dalam, dingin, menenggelamkan, hanyut, arus dan
sebagainya; banyak ikan, bagus , luas, dan sebaginya; indah, dingin,
sepoi-sepoi, ayem, tentram, sejuk, leluasa, damai, sumber ilham dan sebaginya.
Dari cintoh-contoh di atas west
menyimpulkan :
Speech, as language, is the result of man’s ability to see phenomena symbolically and of the necessity to express his symbols¬¬1
Speech, as language, is the result of man’s ability to see phenomena symbolically and of the necessity to express his symbols¬¬1
(= ujaran ,
seperti halnya bahasa, adalah hasil kemampuan manusia untuk melihat
gejala-gejala sebagai simbol-simbol dan keinginannya untuk simbol-simbol itu)
Kini para
ahli atropologi menyimpulkan bahwa manusia dan bahasa berkembang bersama.
Manusia itu ada di bumi kurang lebih satu juta tahun lamanya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembanganya menjadi Homo Sapien juga mempengaruhi
perkembangan bahasanya. Bentuk tubuh yang tegak, mata yang berbentuk
stereoskopis dan celebra cortex yan tidak ada pada hewan lain telah banyak
membantu evolusi manusia. Perkembangan otaknya merubah dia dari agak manusia
menjadi manusia sesungguhnya. Mereka kini mempunyai kemampuan untuk menemukan
dan mempergunakan alat-alat dan mulailah ia bicara.
Ada juga
yang mengatakan bahwa perkembangan bahasa manusia sama seperti halnya
perkembangan bahasa bayi berkembang menjadi dewasa. Otto jespersen (1860-1943)
melihat adanya persamaan antara bahasa bayi dan manusia dahulu. Bahasa manusia
pertama hampir tidak mempunyai arti, seperti lagu saja sebagaimana ucapan-ucapan
bayi. Lama kelamaan ucapan-ucapa tadi berkembang menuju kesempurnaan.
Lalu ada
persolaa lain. Apakah bahasa itu lahir karena keinginan berkomunikasi dengan
anggota masyarakat sosial atau karena dorongan individu, yaitu faktor
psikologis di atas? Jadi bahasa dulu atau masyarakat dulu? Kalau mereka tidak
hidup dalam masyarakat, maka bahasa tidak akan pernah lahir, tapi bagaimana
hidup tanpa bahasa? Kini pertanyaannya seperti pertanyaan klasik, telur dulu
atau ayam dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar